Minggu, 02 Agustus 2020

Habitus Perubahan Sosial di Indonesia

Aprinus Salam *

Walaupun tidak begitu populer, belakangan ini di sejumlah kalangan muncul wacana bagaimana menskenario perubahan sosial Indonesia ke depan agar bisa menjadi bangsa yang maju, sejahtera, dan terwujudnya kualitas hidup modern yang merata. Dari wacana itu dapat diketahui bahwa saat ini bangsa kita ternyata belum maju, belum sejahtera, dan bellum modern sepenuhnya.

Kita sudah lama merindukan menjadi bangsa yang maju dan sejahtera sehingga karena belum (“tidak”) pernah tercapai, harapan itu sekarang seperti mimpi. Dalam sebuah tulisannya, Haryatmoko (2007) berpendapat bahwa untuk menjadi bangsa yang seolah seperti mimpi itu, perlu diketahui simpul-simpul perubahan habitus, dan salah satu yang perlu diperbaiki adalah pendidikan. Bukan saja pendidikan dalam pengertian formal, tetapi bagaimana masyarakat dan negara bersama-sama mendidik warganya menjadi manusia modern, maju, dan beradab.

Untuk itu, demikian tulisan Haryatmoko tersebut, perlu dibangun semacam sistem atau cara yang efektif dan efisien agar masyarakat, tanpa disadarinya, terkondisi dan dikondisikan dalam sistem yang mengubah habitus yang buruk, yang egois, yang korup, yang manipulatif, bukan saja dengan cara persuasi, tetapi dengan cara teknologisasi sistemik perilaku itu sendiri.

Walaupun dua tulisan di atas tujuannya hampir sama, tetapi terdapat perbedaan penting dalam hal perspektif. Tulisan ini ingin melengkapi dari sisi lain, dalam pengertian membangun jembatan agar “misi” kedua tulisan di atas dapat lebih terhubungkan.
***

Membaca Visi Indonesia 2030, dalam ayat-ayat empat pencapaian, pencapaian lainnya pada tahun 2030, dan syarat utama yang harus dipenuhi dalam pencapaian (Kompas, 23/3/2007, hlm. 15) seolah membaca suatu program bahwa masyarakat Indonesia adalah suatu masyarakat yang diatur dalam sistem-sistem dan norma-norma ekonomi belaka. Di sinilah kesalahan mendasar Visi Indonesia 2030, sehingga jauh-jauh hari saya ingin meramal bahwa Visi Indonesia 2030 itu pastilah gagal jika tidak memperhitungkan aspek sosial, budaya, politik, dan habitus masyarakat Indonesia. Itulah sebabnya, perlu diketahui habitus perubahan sosial di Indonesia.

Dalam sejarah perubahan sosial di Indonesia, paling tidak terdapat sejumlah hal penting yang secara sisnifikan dapat dikategorikan sebagai pemicu atau faktor-faktor penyebab perubahan sosial, yakni ekonomi, teknologi, politik, pendidikan, agama, tradisi, dan kualitas SDM. Faktor-faktor tersebut bekerja bersama-sama, saling bersinergi, tetapi sangat mungkin pula saling bertentangan sehingga satu faktor mengganjal faktor yang lain.

Kinerja setiap faktor berbeda-beda dalam setiap kelompok masyarakat Indonesia yang demikian majemuk dan beragam. Misalnya, sebagian besar masyarakat Jawa, dalam sejarah dan tradisinya, perilaku ekonomi rasional bukan sesuatu yang sangat signifikan dalam hidupnya. Mereka lebih mementingkan “rasa berbudaya” di lingkungannya. Atau, bahkan politik kekuasaan lebih menarik sebagian besar masyarakat dari Jawa sehingga hierarki sosial selalu dibakukan, pengembangan kehidupan demokratis menjadi terhalang.

Dalam sejarahnya juga, politik jauh lebih “mengatur” perubahan sosial di Indonesia ketimbang faktor yang lain. Pada masa kolonial, politik ekonomi kapitalisme kolonial memang didesain hanya untuk menguntungkan Pemerintah Belanda. Hal itu terjadi justru karena Belanda “tahu persis” budaya ekonomi, tradisi, dan praktik hidup sehari-hari pribumi, sehingga skenario pemerintah “gupermen” itu berhasil untuk dirinya, dan walaupun ekonomi pribumi sebagian besar gulung tikar.

Pada masa Orde Lama, konsentrasi politik yang digiring Soekarno memporakporandakan ekonomi Indonesia. Pada tahun 1964-1965-an, menurut catatan Arief Budiman, Indonesia mencapai inflasi sekitar 732% (Budiman, 1991). Pada masa Orde Baru, konsentrasi pada pembangunan ekonomi memang memperlihatkan tanda-tanda sukses. Walaupn ternyata, fondasi ekonomi Indonesia, yang tidak didukung bangunan habitus sosial dan budaya yang rasional dan modern, membuat bangunan ekonomi Indonesia sangat rapuh.

Kemudian, represi politik dan pemasungan demokrasi yang lama, membuat tekanan itu meledak. Ujungnya, tahun 1997 perekonomian Indonesia melorot dratis hingga mencapai inflasi 300-400%. Kehidupan ekonomi Indonesia seolah merangkak kembali dari bawah. Bukan hanya ekonomi, segala sesuatunya seolah mulai lagi dari awal. Hingga kini bahkan kita masih merasakan seolah-olah kita sebagai bangsa yang demikian terseok-seok.

Faktor-faktor budaya beragama di Indonesia juga seolah “tidak pernah cukup puas” dalam ikut mengatur skenario dan arah perubahan sosial di Indonesia. Konflik-konflik kecil dan besar, yang kemudian berujung pada politisasi dan politik, tidak pelak menjadi batu-batu kerikil ataupun batu karang dalam mengganjal untuk mencapai proses kemajuan modern yang dicita-citakan Visi Indonesia 2030. Energi orang Indonesia demikian terserap sehingga “waktu belajar yang serius” menjadi berkurang.

Uraian di atas memberi informasi bahwa habitus perubahan sosial di Indonesia perlu “diskenario” ulang dengan memperhitungkan habitus praktik sosial-budaya yang hidup, bahkan hingga hari ini. Sejauh ini, memang, informasi tentang Visi Indonesia 2030 hanya saya dengar dari televisi dan Kompas termaksud.
***

Dalam situasi itu, hingga sekarang, pendidikan yang dipraktikkan, tidak sempat mengolah masyarakat Indonesia menjadi insan-insan (SDM) yang secara tangkas mampu mengapropriasi masa depan yang semakin terglobalkan. Pendidikan tidak lebih semacam “ritus modern” untuk mendapatkan selembar sertifikat, setelah itu para terdidik masuk ke kehidupan masyarakat, ke dunia birokrasi, ke dunia swasta, ke dunia politik praktis “untuk mencari nafkah”, dan kembali terjebak ke dalam habitus-habitus yang sudah terbentuk sebelumnya.

Sekarang, kenyataannya, kondisi itu diperburuk dengan labil dan lemahnya negara dalam membangun dan memfasilitasi warga untuk menciptakan masyarakat yang bermutu. Kesibukan mengatasi berbagai bencana, politik kekuasaan yang berorientasi pada dirinya sendiri, buruknya penegakkan hukum, anjloknya kehidupan ekonomi. Buruknya habitus sosial dan budaya kita, membuat Visi Indonesia 2030 hanya akan selalu menjadi mimpi.
***

Dalam kodisi itu, masihkah ada harapan? Sebagai makhluk yang percaya pada kekuasaan Tuhan, tentulah masih ada. Dalam situasi itulah, saya sangat mendukung tulisan Haryatmoko. Haryatmoko mengingatkan bahwa salah satu yang perlu dilakukan adalah dengan melepas simpul-simpul habitus yang selama ini mengikat masyarakat Indonesia terpenjara dalam kebiasaan-kebiasaan buruk dan sangat tidak produktif.

Untuk itu, perlu diperbanyak identifikasi di mana sajakah simpul-simpul itu terlanjur mengikat di sana sini. Di mana dan bagaimana simpul habitus korupsi sehingga bisa dilepas dengan cara yang efektif dan efisien. Di mana dan bagaimana simpul belenggu hukum sehingga jika simpul itu di-bandrek, penegakkan hukum bisa dijalankan secara efektif. Di mana dan bagaimana pula simpul nepotisme sehingga jika diputus nepotisme bisa tercerai berai. Beberapa contoh telah diberikan Haryatmoko.

Upaya untuk mengetahui dan mengidentifikasi simpul-simpul habitus itu, mau tidak mau, adalah studi-studi yang mendalam tentang realitas sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Berbagai kegagalan yang telah dicontohkan pada masa lalu selayaknya diperhitungkan agar proyek Visi Indonesia 2030 tidak menjadi proyek mimpi, proyek yang ingin mengambil muka kekuasaan. Mumpung Indonesia sedang terperosok secara ekonomi, perlu visi ekonomi seperti menjadi misi Yayasan Indonesia Forum.

Dengan demikian, perlu ditekankan bahwa skenario ekonomisasi masyarakat tidak mungkin berjalan sendiri dalam merubah masa depan Indonesia. Karakter budaya orang Indonesia pada umumnya, juga terbentuk karena habitus-habitus kecil keseharian yang lebih mendarah daging. Habitus-habitus kecil itu, terstruktur dalam sejarah skenario habitus perubahan sosial yang lebih besar. Struktur itu harus diketehui persis agar tidak salah langkah lagi.
***

*) Dr. Aprinus Salam, M. Hum., Sastrawan kelahiran Riau, 7 April 1965. Dosen FIB UGM, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM sejak 2013, Anggota Senat Akademik UGM 2012-2016, Konsultan Ahli Dinas Kebudayaan DIY (2013-2016). Pendidikan S1, Bahasa dan Sastra Indonesia FIB UGM (Lulus 1992), S2 Program Studi Sastra Pasca Sarjana UGM (Lulus 2002, salah satu wisudawan terbaik), S3 Program Studi Sastra (Program Studi Ilmu-Ilmu Humaniora, Pascasarjana FIB UGM, lulus 2010).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar